Nalar Umar

Rangkaian lika-liku semesta, sekalipun kerasnya, Allah senantiasa selipkan potensi doa manusia untuk mengimbanginya, hingga selalu ada panorama jelita di sebalik qodar-Nya. Seperti doa-doa seorang Ibrahim, atas terlahirnya para nabi dari titis darahnya, berlarung hingga penutup anbiya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam. Adalah Umar bin Khattab, sebelum kecemerlangannya, dulu ia bermula tersapa oleh doa Nabi Muhammad: atas siapa cinta Allah bertimbang demi Islam, Umar atau Abu Jahal kah? Qodarollah, Allah mencintai Umar.

Beruntung, sungguh-sungguh beruntung seorang Umar. Jika karibnya, Abu Bakar perjalanan hidayahnya mulus semulus limuosine melaju di jalan beraspal, lain halnya Umar. Skenarionya terjal, bagai jeep yang naik off-road. Tapi, dua-duanya indah pada ridho-Nya. Apabila Abu Bakar adalah sejernih jiwa bertemu muara cahaya, maka Umar adalah semanfaat nalar menemukan iman. Ya, nalar. Itu sesuai atas kisah yang melatarinya.

Nalar jahiliyah Umar yang masih legam namun tersimpan core suci, diguncang Allah dalam tiga momen skenario-Nya.

Lantunan Indah yang Mengguncang Kalbu

Termula, adalah Umar sebongkah kekar fanatisme. Maka segala apa yang mengoyak keutuhan budaya masyarakatnya adalah musuh besarnya. Rencana Allah mengalir. Gelisah menuntun ia ke Kabah, membuntuti seorang yang kini menjadi musuh besar fanatiknya, Muhammad. Dengan segala kesal ia berniat menghabisinya, sejenak menanti timing tepat, di balik kain Kabah, Umar menyelinap mencuri dengar apa yang dikomat-kamitkan Muhammad, pikirnya yang ia dengar adalah untaian puisi karangan manusia. Tiap baitnya mengetuk jiwa kerasnya. Tahunan dalam hidupnya ia paham betul puisi-puisi Arab, tak pernah ia mendengar serupa sastra seperti ini, ada pola yang lain dari biasa, indahnya lian.
“Indah sungguh untaian syair ini” bisik hati Umar.

Lantas berjawab lantunan Nabi dalam shalat: “Dan ia (Al-Qur’an) bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya” (QS. Al-Haqqoh: 41).

Spontan, gemetar jiwa Umar, bagaimana bisa Muhammad tahu suara hatinya, seolah Muhammad punya kekuatan ghaib serupa tukang sihir yang mampu membaca pikiran orang.

“Dan bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran darinya” (QS. Al-Haqqoh: 42). Lanjut bacaan dalam shalat Nabi.

Kini rontok jiwa Umar, benar ada telinga ghaib yang menyadap suara hati dalam bisu mulutnya, segagah Umar mengerisut dalam horor yang tak pernah menjamahnya. Bagaimana Muhammad bisa tahu, apa ini sebenarnya? Batin Umar.

“la (Al-Qur’an) adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan seluruh alam.”(QS. Al-Haqqah: 43).

Seketika Umar terbirit-birit, sekokoh bahu Umar tergopoh-gopoh melarikan raga dari kecamnya malam itu. Malam gemintang, cinta Allah sayup-sayup menyapa Umar dalam keterhijabannya. Tapi, itu tak berhenti disitu, cinta Allah bagi Umar berlanjut. Memecah nalar jahiliyahnya, mengelupas legamnya, dan yang tersuci di dalamnya mengelopak disiram lagi dan lagi.

Hidayah yang Meneguhkan

Momen kedua, Allah sayup menyapanya, tiba masa minoritas muslimin menepi pada dataran yang sudi merehatkan jiwa mereka untuk khusyuk abdikan pada Tuhan semesta alam. Adalah Ummu Abdillah satu diantara yang berhijrah ke Habasyah, hendak menyebrangi lautan mencari suaka Najasyi raja Nasrani yang adil.

Ummu Abdillah berjerih-jerih menaiki bukit yang tinggi sembari berbelit gendongan dengan bayinya. Umar sudah sejak lama tertegun menatapnya begitu dalam pada perempuan yang masih kerabatnya itu, pikirannya menghujam dalam. Dalam sekali, karena begitu cukup bermasa sekelumit tanya dan polemik jiwa mengisi dadanya, gerangan apa Islam agama baru ini, sekuat ini ajaran membuat orang begitu rela kehilangan harta, tanah kelahiran dan kenyamanan hidup demi sebuah ajaran.

Ajaran macam apa ini. Bersapa Umar pada Ummu Abdillah tentang arah dan alasan perginya. Berbalas pula, atas ketenangan yang ingin ia raih untuk menjadi manusia merdeka dengan menghamba pada Allah semata. Tak disangka oleh Ummu Abdillah, terdengar doa keselamatan terlantun pada mulut Umar untuknya. Cinta Allah dalam hening mengalir dalam dada Umar, indahnya. Perlahan senyap hanya tinggal menunggu kehendak Allah semuanya berlabuh.

Momen ketiga, hanyalah seolah menu dessert (cuci mulut), setelah epetizer dan main course di atas meja hidangan. Belum genap cinta Allah memenuhi dada Umar, ya, cukup sedikit lagi yang menyempurnakannya. Tapi kini Umar sudah tidak kuat menahan semua perpecahan bangsanya.

[]