Mush’ab bin Umair, Tuan Muda Pecinta Akhirat

Transformasi kehidupan sahabat satu ini merupakan sebuah model yang membuktikan bahwa pengalaman ruhaniah itu jauh lebih menentukan kelezatan hidup dibanding pengalaman lahiriah dunia. Manisnya rasa iman mampu mengalahkan sintetiknya manis kenikmatan dunia. Namun memang tidak semua manusia mampu mendapatkan pengalaman serupa sepertinya. Tanpa terlepas dari Iradah Allah, semua mekanisme psikologis yang terjadi dalam hidup Mush’ab bin Umair adalah bermula akan kebersihan nalar/akal serta kehausan jiwanya untuk menangkap sinyal kebenaran.

Pada usia remaja, dengan proporsionalitas peluangnya, di usia menuju kematangan berpikir, daya nalar telah tumbuh menguat namun polutan moralitas belum mengkontaminasi jiwa menjadi pendorong kuat Mush’ab Bin Umair untuk memperbesar kecenderungan positifnya hingga keislamannya menjadi gerbang fitrah jiwa seorang hamba bertemu dengan pertanda-pertanda qauliyah Tuhannya. Padahal di saat itu Mushab berada dalam zona nyaman kemapanan materi hidup, tak berkekurangan sesuatu hal pun. Berada dalam kondisi keluarga yang hangat penuh cinta sang ibu. bahkan justru ketertarikannya pada Islam tentu telah terduga olehnya sendiri itu akan berpotensi mengundang bencana besar yang menggoyahkan stabilitas kehidupannya.

Sang ibu memang menjadi batu ujian iman Mush’ab Bin Umair, namun setelah segenap keyakinan, ia menghampiri Rasulullah, bersyahadat dan tekun menuntut ilmu islam di rumah Arqam. Keretakan hubungan dengan ibunya tidak dapat terhindarkan, tetapi kekokohan keimanan telah terlanjur menguat dalam diri Mush’ab. Dirinya telah mengenali Rabb dan kokoh dalam cinta dan taatnya, sekuat itu pula cinta dan taat pada Rasulullah, sehingga akhlak mulia yang menjadi pilihan Mush’ab ketika dihadapkan pada penentangan sang ibu: “Wahai Bunda! Saya ingin menyampaikan nasihat kepada bunda, dan ananda merasa kasihan kepadamu. Saksikanlah bahwa tiada ilah (yang berhak disembah) selain Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.”

Tentu saja setelah itu ujian seolah berjatuhan menimpa Mushab. Seorang yang dikenal para perempuan muda Mekkah dengan bau harum parfumnya, pakaian mewah dan seperangkat gaya berbusana yang fashionable di saat itu, kini ia berubah secara lahiriah.

Aku telah mengetahui Mush’ab ini sebelumnya. Tidak ada pemuda Mekkah yang lebih dimanja oleh orangtuanya seperti dirinya. Kemudian ia meninggalkan itu semua karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.”

Sebuah testimoni Rasulullah seolah mewartakan apa yang terjadi dalam diri dan jiwa Mushab hakikatnya. Dan tentu saja Nabi mampu mengetahui kedalaman iman Mushab yang telah uji tempa selama masa tarbiyah periode Mekkah dengan sekelumit dinamika sosialnya. Sebagaimana para sahabat lainnya, jiwa Mushab tumbuh kembang mematang di atas giliran-giliran ujian selama di Mekkah. Jiwa Mushab makin menguat seiring wahyu per wahyu turun menyiram-suburkan kesalihannya. Hingga apabila akar tauhid dalam diri telah kuat, Rasulullah memberinya tugas besar sebagai duta penyebaran dakwah Islam ke Madinah. Kecerdasan interpersonal serta kedalaman pemahaman agama Mushab dipercayai Rasulullah untuk mengetuk rumah-rumah nurani Yatsrib hingga alhasil tidak ada rumah yang tidak diidengungkan ayat Allah didalamnya kecuali sedikit.

Adapun kunci keberhasilan Mush’ab bin Umair adalah sebagai berikut:

  • Memiliki satu bentuk kontemplasi diri untuk membuat suatu pilihan hidup besar dalam meraih kebenaran
  • Bila diseterukan pada titik konfrontrasi, senantiasa memprioritaskan kemapanan batiniah berupa ketenangan jiwa dan penemuan makna hidup dibanding kemapanan lahiriah berupa harta dan lainnya.
  • Tetap melahirkan akhlak yang terpuji dalam menghadapi sosok-sosok perintang yang membenci perbaikan hidup disertai ajakan dengan penuh mauidhah hasanah.
  • Memiliki komunitas yang dapat mempertahankan dan meningkatkan kualitas perbaikan diri.
  • Berkiprah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.

Tinggalkan Balasan