Oleh: Yusuf Maulana
Adakah yang meragukan tampilan kesalehan dan ekspresi keislaman Abdurrahman Ibn Muljam? Dari harfiah berislam, Ibn Muljam sungguh sosok yang berhak dipredikati dengan banyak sebutan indah. Tapi sosoknya bermakna lain bila kita tilik keberpihakannya bahkan keloyalannya hingga ajal: Khawarij. Tak silap bila Ibn Muljam dan golongan Khawarij ibarat—meminjam frasa Ismail Raji’ al-Faruqi dalam The Cultural Atlas of Islam (1998)—“keindahan syair kesalehan”.
Di episentrum kesalehan lahiriah, terutama mazhab minda mereka, juga militansi memegangi dalil (meski ayat-ayat tertentu pilihannya), Khawarij menjadi wajah kontradiksi beragama. Kesalehan berpijak pada teks di satu sisi, beriringan dengan wajah beringas tanpa ampun. Sesama muslimin berbeda minda dan haluan dengannya, mudah ditebas. Dibandingkan kalangan minda lain dalam Islam, Khawarij kurang menampilkan wajah intelektualitas. Tak heran bila Joel L. Kraemer dalam Humanism in the Renaissance of Islam (2003) membuat sebutan tak menyedapkan hati sesiapa yang mendengar, yakni “Para perampok yang tidak memiliki ideologi politik-keagamaan yang benar.”
Sebagai corak berpikir dan merepresentasi suatu pandangan sarwa (worldview), Khawarij sejatinya diragukan untuk mati atau takkan bangkit. Tidak mesti pula penghidupnya muslimin sesaleh Ibn Muljam. Bisa saja ia dipakai oleh sekelompok perampok yang mengatasnamakan Islam. Perampok di sini pun tak melulu penyamun berwajah sangar dan kucel berbusana. Pendaku agamawan atau penyintas agama bisa saja mengadopsi, sadar ataupun tidak, gaya Khawarij.
Pelabelan Khawarij tentu saja tidak boleh semberono, atau mencukupkan dengan ciri-ciri tertentu semisal berjanggut lebat dan bercelana di atas mata kaki. Bukan pula sesiapa yang mengkaji minda tertentu, semisal karya-karya Ibn Taimiyah. Ibn Taimiyah jelas bukan Khawarij, sejarah berbicara tandas hal ini. Sayangnya, di sebagian negeri hari ini, ada yang mudah melontarkan sebutan si fulan dan kelompok anu sebagai Khawarij hanya karena memakai rujukan kepada kitab-kitab Ibn Taimiyah.
Ironisnya, sesiapa yang mendakwa pihak lain Khawarij, dalam beberapa kasus, malah tanpa sadar merepresentasi dirinya setipe dengan Khawarij. Melabel diri baik, sementara pihak lain buruk. Menuduh yang lain Khawarij dan dirinya bersih dari tudingan buruk, padahal yang sebenarnya mereka perbuat justru kepribadian Khawarij. Batas menilai kesalehan seumpama hadits Nabi ihwal Khawarij malah tidak berulang; bahwa mereka orang yang giat beribadah hingga sukar diserupai ketekunannya .
Kesalehan yang ada acap kali hanya versi penuding, yang malah bentuk tanpa sadar Khawarij! Kepribadian Khawarij pun akhirnya menjadi meluas; mengena sesiapa saja yang awal membenci amat Khawarij dalam amarannya. Tak hanya muslimin, pemeluk agama lain pun ada yang diam-diam mensifati kepribadiannya dengan golongan Khawarij dalam khazanah tarikh Islam. []