Kota Kerinduan

hipwee.com

Oleh: Yusuf Maulana

Di balik keceriaan dua cucu tercintanya, Hasan dan Husein, ada kegundahan yang tak dapat disembunyikan sang kakek, Muhammad shalallahu alayhi wasallam. Sang Nabi akhir zaman ini merasa iba pada dua cucunda tersayang yang belum jua menginjakkan kaki ke tanah leluhurnya: Mekah. Enam tahun lamanya Nabi Muhammad berhijrah dari tanah kelahiran menuju Yatsrib, yang kemudian berganti nama menjadi Madinah. Selama itu pula beliau, keluarga, dan para sahabatnya menyimpan gumpalan rindu pada Mekah.

Isyarat kerinduan Baginda Nabi itu ditangkap oleh putri dan menantunya, Fatimah dan Ali. Ibu dan ayah dari Hasan-Husein ini pun merasakan beratnya rindu yang sama. Bau tanah dan semilir angin Mekah sukar untuk mereka lupakan.

Hari-hari yang dijumpai Fatimah dan Ali serupa ketika seorang penyair Islam bernama Ashil meruahkan rindu dalam bait-baitnya. Terdengar di telinga sang Nabi gubahan lirih Ashil. Tiba-tiba saja butir-butir air mata beliau bercucuran di celah pipinya. Kerinduan kepada Mekah tampak jelas di wajah Nabi. “Wahai Ashil biarkan hati ini tenteram,” ucap beliau.

Mekah adalah ungkapan tiada tepermanai pada kerinduan. Dan bila kerinduan adalah serupa Nabi mengingat pada Mekah, maka itulah kecintaan pada kebangsaan yang halal. Demikian pernah dituliskan pedakwah Hasan al-Banna dalam “Majmu’ah Rasail”. Sahabat Bilal pun, ucap al-Banna, pernah menyenandungkan bait-bait puisi kerinduan tulus terhadap Mekah:

O, angan
masihkah mungkin ‘kan kulalui malam
pada lembah dan ada Izkhir mengitariku, juga Jalil
Masihkah mungkin kutandan gemercik air Mijannah
Atau Syammah menampak bagiku, juga Thafil

Memang Mekah ditakdirkan bukan hanya milik Nabi Muhammad dan sahabat sezamannya. Ia adalah kota yang melampaui batas rindu. Magnetnya hanya sebagai tempat orang berziarah lantaran ia sebagai tempat suci. Persis asal katanya, Macoraba (dari bahasa Saba: Makuraba), seperti disebutkan oleh Ptolemius (90-168 masehi). Heredetos, sejarawan pada abad ke-5 sebelum masehi, menyebut Mekah sebagai Makaraba.

Tempat suci itu tidak lain bangunan tua, purba, yang bagi umat Islam dikenali sebagai Ka’bah. Di tempat yang disebut juga sebagai Baitullah inilah saban hari Mekah dibanjiri ribuan manusia. Manusia dari pelbagai penjuru bumi, tanpa memandang suku, status sosial, kulit, pangkat ataupun banyaknya kekayaan. Mereka secara antusias datang mendekatkan diri pada Sang Ilahi dalam ritual umrah. Dan lautan manusia itu akan serupa air bah setiap Musim Haji pada bulan Dzulhijjah. Paling sedikit 2,5 juta manusia memenuhi area Ka’bah dan Masjidil Haram untuk menunaikan tawaf. Berputar melawan arah jarum jam sebanyak tujuh kali seraya melantunkan seruan suci telah dipenuhinya panggilan Ilahi Rabbi. Labbaik Allahumma labaik….

Tapi, itu bukanlah puncak kerinduan yang ingin diakhiri. Selalu orang berkata, meski perih dan pelik untuk tiba di Tanah Suci Mekah, tapi rindu selalu meruah. Selalu tak tertahankan kenangan untuk dihadirkan kembali.

Kerinduan ke Mekah sejatinya memang milik umat Islam. Menariknya, jauh sebelum hadirnya risalah Islam yang dibawa Baginda Nabi Muhammad, ritual haji dari milah Ibrahim sudah dikenali umat terdahulu. Hanya sayangnya, bercampur dengan keyakinan-keyakinan batil. Islam hadir melenyapkan itu semua. Ya, agar kerinduan pada Mekah, dengan Masjidil Haram dan Mekahnya hanyalah manifestasi tauhid yang suci. Tidak lebih dari itu.

Kendati Mekah diharamkan untuk dimasuki umat lain, ini tak berarti tidak ada upaya penyusupan. Demikianlah sejarah mencatat, dari tangan-tangan para pelakunya sendiri. Orang-orang yang berakidah lain bahkan tak percaya adanya tuhan, namun mereka begitu penasaran dengan Mekah. Lautan manusia di Mekah dengan perjuangan tidak terbilang ringan, amat memesona mereka. John L Burckhardt diam-diam menyamar sebagai Muslim agar bisa masuk ke Mekah pada Agustus 1814. Demikian pula sang ateis Richard Burton, yang berhasil lolos sebagai Muslim ke Mekah pada 1853.

Ada apa gerangan di balik Mekah dan bangunan purba bernama Ka’bah sampai orang-orang bukan Islam begitu terpikat? Mekah hanyalah kawasan rendah yang dikelilingi gunung-gunung. Cuacanya sering tidak bersahabat; dari dulu hingga sekarang. Tanahnya pun tandus hingga tak cocok untuk ditanami. Bentang dan panorama alam boleh ala kadar; pun suhu udara yang tak bersahabat. Tapi, itu tak mengurangi adanya “sesuatu” di dalam Mekah. Keberkahan. Sebagaimana dimunajatkan oleh Nabi Ibrahim ketika bersama-sama putranya, Ismail, membangun Ka’bah.

Dan pesona keberkahan itulah yang hinggap di jiwa orang-orang bukan Islam. Ada kekaguman sekaligus misteri. “Semua yang beribadah yang bergantungan sambil menangis pada tirai (kiswah), atau yang menekankan debaran hatinya kepada batu (Hajar Aswad) itu, pada saat itu tak ada orang yang memiliki perasaan yang dalam daripada aku sendiri.” Demikian Richard Burton melukiskan suasana hatinya seperti dicatat Ross E. Dunn. Ini curahan perasaan seorang yang bertuhan batil, apatah lagi mereka yang sudah menyatakan diri memeluk Islam dan meyakini Allah sebagai rabbnya dan Muhammad selaku utusan-Nya! []