“Handzalah telah munafik”. Daku Handzalah seceplos lidahnya setelah disapa Abu Bakar perihal kabarnya hari itu. Kaget pastinya Abu Bakar. Konon, frasa nifak atau munafik merupakan fobia terbesar yang membuat gigil bagi para sahabat Nabi. Lalu seketika kata nifak tersebut muncul dalam pengakuan sahabatnya yang sangat ia tahu tidak mungkin nongol di dirinya.
Cepat-cepat Abu Bakar mengkonfirmasi tentang sebab di balik pengakuan yang membuatnya begitu kaget sekaligus super penasaran gerangan ada apa yang terjadi. “Jikalau kami berada di sisi Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam ketika beliau sedang mengingatkan kami mengenai neraka dan surga, seakan-akan kami melihatnya dengan mata kepala kami. Akan tetapi ketika kami beranjak dari sisi beliau Shallallaahu ‘alaihi wasallam, kami kembali tersibukkan dengan istri-istri dan anak-anak kami, kami kembali melakukan perbuatan-perbuatan yang sia-sia dan kami banyak lalai.” Beber Handzalah.
Tak disangka seolah bersahutan, sekaliber Abu Bakar Ash-Shidiq karena tawadhunya ia malah turut berinsaf diri, “Demi Allah, sesungguhnya aku pun sering seperti itu.” Pribadi agung Nabi telah menggetarkan hati mereka, sehingga bila berada di sisi beliau, hati selalu syahdu dalam taat namun selepas itu jauh darinya, mereka seolah terlepas dari aura risalah. Kegalauan itu akhirnya mengantarkan mereka pada Rasululloh. Dipaparkanlah keganjilan hati mereka. Selepas menyeksamai pengakuan itu, Rasululloh melempar senyum, “demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, jika kalian menetapi perbuatan ketika kalian berada di sisiku dan ketika berdzikir, niscaya para malaikat akan menjabat tangan kalian dalam setiap lorong dan langkah-langkah kalian, akan tetapi sesaat demi sesaat, wahai Hanzhalah! Sesaat demi sesaat, wahai Handzalah! Sesaat demi sesaat..!”
Fenomena Handzalah adalah fenomena kita. Pernah kan kita ketika pulang mengantar jenazah tetangga dekat disemayamkan ke liang lahat, berderai-derai air mata, bergelayut rasa takut tentang azab, rasa tak karuan melipir hati seperti apa kalau dia itu kita, tapi lantas selepas itu diri ini tetiba lupa semuanya di saat pulang ke rumah. Suami/istri atau anak menghampiri bercengkrama lalu kita larut dalam bahagia canda? Atau, lain waktu kita hanyut dalam gelombang khusyuk oleh sedu sedan syaikh Hani Rifai, atau syahdu lantunan Mathrud, atau cengkokan indah Mansur Salmi dalam ayat-ayat neraka dan syurga. Walau tahu hati ini tak sesoleh mereka, tapi kok kenapa celah mata seolah kehilangan klepnya sampai tak terasa lebih dari menetes, mengalir banyak seperti ada sesuatu diperas dalam hati ini. Tapi tak lebih dari semenit, gelombang tersebut menghilang ketika berdering ponsel chat WA masuk, baris per baris menarik kita dalam guyonan dan obrolan seru bersama teman hingga garis airmata kering jejaknya. Secepat itukah hati ini berbalik? Gitu kali fenomena Handzalah kita. Bedanya, Handzalah mendaku, mengkonsul untuk segera dilerai pergulatan batinnya hingga nuraninya terawat. Nah kalau kita, “lhaa biarin aja, lagi seru nih”. Ah, semoga tidak lagi.
Fenomena manusiawi Handzalah kalau boleh bisa dikonversikan ke konsep Sacred versus Profan. Zona Sacred (suci) sering kita alami tepatnya kalau lagi yakin-yakinnya kalau kita bakal mati, pikiran lagi jelas-jelasnya lihat akhirat itu bakal dialamin, dan kita dalam kegalauan sangat karena compang-camping amalan kita. Sering kan kita kaya gitu?! Handzalah mengalaminya di waktu Rasul disampingnya dengan segala petuahnya. Naah, trus zona Profan waktu kalau semua ingatan ukhrowi hilang, blank ga berjejak. Malah kita seru-seruan dalam perkara yang sama sekali ga linked dengan akhirat. Sampai disitu kita lagi di zona Profan. Sejauh penerawangan kita, tentu Handzalah bukan tipe gampangan nyentuh yang dibenci Allah. Semoga kita juga tak lewati fase Handzalah. Nah trus, gimana kesimpulannya?
Bagi Handzalah, Nabi punya segala peran, termasuk sebagai seorang konselor sempurna yang begitu mengerti kedalaman hatinya. Setelah diseksamai kegelisahannya, didiagnosa jenis dan bentuk masalahnya, ditenangkanlah hati Handzalah karena itu bukan bagian sifat munafik. Malah, Beliau sedikit berkelakar tapi memang benar, bahwa manusia memang manusia, bukan malaikat kapasitasnya. Handzalah tadinya dengan lugu dan ngarep kapasitas malaikat lah yang digarap. Bukan, tapi lebih canggih dari itu.
“Akan tetapi sesaat demi sesaat, wahai Hanzhalah! Sesaat demi sesaat, wahai Handzalah! Sesaat demi sesaat..!” tiga kali pengulangan oleh Nabi begitu misterius buat saya dan perlu penggalian dengan ilmu yang mumpuni. Sebagian menafsirkan “sedikit-sedikit” ada yang juga “sesaat-sesaat”. Saya logisnya mengambil “sesaat-sesaat”, karena kalau “sedikit-sedikit” karena walaupun bertahap selangkah demi selangkah kita tidak mungkin jadi malaikat. “sesaat-sesaat” dikonversi lagi seperti mekanisme emulsi. Menyatukan air dengan minyak sampai tanpa sekat.
Zona Sacred adalah air, dan zona Profan adalah minyak. Sering-seringkan fenomena profan diadukkan pada nuansa sacred. Praktisnya sangat gampang. Liat istri cantik, hati bertasbih, “indahnya ciptaan Allah, tapi eits, ini amanah-Nya”. Kalau lagi gandrungin chat WA, bisikan dalam pikiran “wow, ini tiap redaksi chat kita bakal ditampilin di video sesi Mizan nanti, poinnya positif atau negatif di mata Allah nih?! Sebuah proses emulsi jiwa yang pokok hasilnya itu manusia, tapi rasa rasa malaikat. Nah, kurang lebihnya demikian. Lain-lainnya kita lebih dapat memadukannya. Terus-terus diemulsi, kian emulsi kian kinclong. Wallohua’lam Bishowaab. []