Oleh: Yusuf Maulana
Kisah masuk Nasrani adik H. Agus Salim, Chalid, bagi sebagian orang berasa “istimewa”. Salah satunya tentang sikap lapang dada Agus Salim pada pilihan sang adik. Pemikiran ini tidak sepenuhnya keliru bila kita melacak rekam jejak toleran guru para aktivis Islam itu. Yang menjadi soal adalah kisah dan pernyataan Agus Salim itu mendapat pemaknaan “baru” tapi berbeda dengan kejadian sebenarnya. Termasuk kalangan liberal di Islam yang menjadikan tanggapan Agus Salim sebagai hujah perlunya menghargai pihak murtad.
Bagaimana kejadian sebenarnya, Mohamad Roem, seorang anak didik dan kader Agus Salim menuturkannya dalam buku “Bunga Rampai dari Sejarah” pada buku keempat (1988). Roem mengisahkan cerita itu dalam makalahnya untuk sebuah seminar internasional tentang universalitas Islam di Bandaranaike Memorial International Conference Hall, Colombo, Srilanka pada 26-28 Maret 1982. Jadi, diangkatnya kisah tersebut terkait misi universal Islam sebagaimana judul makalahnya “Menuju Pemecahan Permasalahan Dunia secara Universal.”
Berikut petikannya:
MASALAH INDONESIA DAN PEMECAHANNYA SECARA DAMAI
Indonesia merupakan tanah jajahan Belanda selama lebih dari 300 tahun. Ketika
Belanda dan Indonesia bertemu kembali setelah Perang Dunia ll, Republik
Indonesia telah diproklamasikan sebagai negara yang merdeka dan berdaulat
penuh, sedangkan Belanda mengira mereka akan kembali ke bekas jajahannya dan
melanjutkan peranannya sebagai majikan. Oleh karena tekanan dari balatentara
Inggris yang mendampingi Belanda, maka kedua belah pihak bertemu pada meja
konferensi.
Haji Agoes Salim, “the grand old man of Indonesia”. hadir di sana. Dia hadir sebagai Wakil Menteri Luar Negeri, namun dia terutama dikenal sebagai lobbyis ulung. Sebagai usaha membuat malu Haji Salim, pihak Belanda menceritakan kepadanya bahwa adiknya, Chalid Salim, yang bermukim di negeri Belanda, kini memeluk agama Katholik. Karena dituduh komunis, Chalid dulu dibuang ke Digul, kamp konsentrasi yang keji itu. Di sanalah Chalid berkenalan dengan seseorang di penjara, seorang Jawa Katholik, yang dalam pandangan Chalid bersikap mengagumkan mengingat keadaan di Digul. Jiwa Chalid terkesan oleh sikap hidup orang tersebut, maka ia mengakui agama Katholik sebagai agamanya yang baru.
Akan tetapi, pihak Belanda keliru dalam harapannya membuat malu Haji Salim. Secara spontan Haji Salim sebaliknya berseru: “Alhamdulillah, dia kini lebih dekat kepada saya.” Haji Salim berkata:“Tentu saja. dulu dia komunis yang tidak percaya kepada Tuhan. Sekarang dengan menjadi seorang Katholik, dia percaya kepada Tuhan. Jadi dia kini lebih dekat dengan saya!” Dalam perdamalan kata itu, Belanda telah kalah total.
Demikian petikan makalah Mr Roem. Adakah yang baru dari kisah tersebut? Ya, konteks di mana dan kapan Agus Salim menyampaikannya. Dalam cerita yang ditulis dan diedarkan, tidak disebutkan bilakah Agus Salim menyampaikan pandangannya terkait sang adik. Ini harus jelas dulu sebelum kita simpulkan lekas-lekas bahwa beliau secara luas dan umum membolehkan berpindah agama (dari Islam) sesuka hati. Dan Chalid bukanlah (lagi) Muslim statusnya ketika beralih ke Nasrani; dia sudah murtad sejak beralih ke komunis. Clear sampai di sini. Ya, Agus Salim sampaikan tanggapannya soal sang adik dalam perang diplomasi. Toh kendati begitu, Agus Salim tetap hormati putusan sang adik. Tapi, adakah kita dapati pembelaan Agus Salim untuk membebaskan orang sesuka hati berpindah-pindah agama? Ada hal yang berbeda dari kisah yang sama ini. Semoga kita diselamatkan dari bergegas menyimpulkan. []