Oleh: Ade Hidayat
Mereka, bersama kita namun terserak. Sebagian tahu jati dirinya, sebagian lainnya entah. Tapi mereka sama-sama ada di fase yang penuh dengan rasa ingin tahu, tuntutan yang tinggi akan pengakuan sosial serta egoisme yang bertubi-tubi.
Mereka yang paham, fasenya dipenuhi pengetahuan, dituntun bimbingan, dijaga daya kreasinya sembari dikonservasi akal nuraninya oleh lingkungan pemegang responsibilitas. Mereka yang entah, tersudut hampa sendirian, terkadang bergumul dengan sebaya yang sama kesepian, menggandrungi hal seru tapi brutal, mengasyikan tapi membahayakan, bersolidaritas dalam kekerasan.
Pada akhir cerita, mereka yang sadar akan kehidupan semesta, paham bahwa ia hanya setitik dari luasnya cakrawala peradaban manusia. Ia juga tahu siapa saja yang telah berunjuk diri menopangi kemaslahatan madani, lalu insting terbaiknya terpantik untuk memplagiasi sifat kebaikan dari sosok-sosok itu, dan jadilah mereka. Lalu sebagian lain yang minim pemahaman, cakrawala kehidupannya terbatas pada dinding sempit kehidupan pribadi, mereka tidak sempat tahu jelajahan dunia raksasa luar di sudut wilayah lain dan abad lain. Hal yang tidak tuntas dalam kognisi membuat afeksi dan psikomotoriknya kerdil dalam kotak sempit kesendiriannya. Jadilah seperti sebagian anak dan remaja kita saat ini, kenakalan dan penyimpangan perilaku generasi muda yang terfragmentasi dari kesadaran holistik peradaban manusia.
Kurikulum Rumah
Langkah selalu bermula dari rumah. Keluarga, dimana durasi pertemuan bersama anak yang lebih panjang dibanding sekolah sangat layak untuk memiliki program dengan target pencapaian pendidikan yang jelas. Orangtua dalam hal ini mesti merancang kurikulum, walau tidak sebaku di sekolah yang mana di rumah lebih aplikatif dan riil. Learning by doing dalam kehidupan bersosialisasi di miniaturnya “masyarakat rumah”. Rumah menjadi laboratorium dalam menerapkan nilai dan sistem pembelajarannya pada anak. Ada lima indikator yang aplikatif bagi rumah tentang pencapaian tugas anak dan remaja yang disinyalir menjadi cikal potensi kontribusi mereka dalam pembangunan masyarakat ideal.
What they do: Perilaku, kebiasaan, serta aktivitas harian yang dialami secara sadar merupakan identitas anak paling faktual dibanding indikator lainnya. Jati diri tanpa rekayasa terefleksi secara dominan di dalamnya. Idealnya, anak maupun remaja menjalani rutinitas yang berfungsi mengembangkan keterampilan dan karakter produktif dan positif baik bagi diri maupun lingkungannya. Pola kebiasaan, kuat membentuk pola pikir dan karakter, lalu digunakan dalam jangka waktu lama di masa perkembangan selanjutnya. Anak dan remaja yang memiliki kebiasaan ideal, cenderung mengulang pola aktivitasnya kelak, atau bahkan memiliki pengembangan dari sebelumnya. Sebaliknya, aktivitas dan rutinitas destruktif dan tidak memiliki manfaat akan memberikan wawasan hampa bahkan sesat di masa dewasa.
What they know: wawasan tentang diri beserta potensinya dalam konteks lingkungan sosial beserta segala permasalahan yang terjadi di dalamnya memberikan satu bantuan paradigma berpikir, pola pengambilan keputusan tindakan serta untuk cenderung pada kebiasaan tertentu. Individu perlu mengenal secara mendalam siapa dirinya, apa potensi dan bagaimana mengembangkannya, kemudian pemikirannya diperlebar dalam kerangka kontekstualisasi dalam lingkungan sosialnya, artinya menempatkan diri beserta potensi pada konteks permasalahan masyarakat luas. Dalam tahap lanjutan, orangtua perlu menggiring wawasan anak secara lebih luas, konteks pemahaman lebih bergeser pada isu-isu kemanusiaan seperti kemiskinan, peperangan, wabah penyakit, kasus kejahatan/pembunuhan, korupsi, pelecehan seksual. Selama ini kajian isu kemanusiaan tersebut hanya dipahami sebagai subjek yang terhitung “terlalu dewasa” bagi anak dan remaja. Disinilah letak kelemahan. Kegagapan pencapaian tugas perkembangan masa dewasa disebabkan kurangnya persiapan di masa sebelumnya dalam membuat set wawasan.
What their aim: Perencanaan hidup dengan landasan tujuan yang kuat sangat penting. Sayangnya, abai perhatian orangtua terhadap lifestyle anak yang cenderung have fun memposisikannya jauh dari perencanaan, baik dengan tujuan hidup yang benar. Maka keluarga perlu diingatkan kembali akan peran utama menarik balik anak-anaknya untuk ditata tujuan dari semua yang mereka jalani. Waktu berkualitas (quality time) untuk berdialog antara orangtua-anak, kegiatan dan program kondusif dan nyaman dalam keluarga yang mencanangkan secara tersirat bahwa hidup mesti memiliki tujuan yang sejati.
What’s their ideal society: Setelah memiliki satu kesadaran dirinya dalam lingkup sosialnya, menyelami kondisi kehidupan dunia saat ini beserta permasalahannya, remaja pasti memiliki satu harapan kehidupan bersama yang terbaik. Hal ini sebagai upaya pelatihan kemampuan futuristik serta proses resolusi dengan aktualisasi nyata bagi anak dan remaja. Internet atau televisi di rumah dapat berkontribusi dalam perancangan gambaran pemikiran antara kondisi faktual masyarakat dunia saat ini dengan ekspektasi mereka tentang masa depan yang lebih baik. Semisal tentang berita perang untuk memberikan gambaran ekspektasi kedamaian, informasi bencana alam dan banjir yang menginspirasi teknologi ramah lingkungan atau tata letak kota yang baik, warta wabah dan malnutrisi yang memberi peluang menjadi kontributor saintis kesehatan masa depan, isu kemiskinan yang memberikan pemikiran mendalam bagi remaja tentang keseimbangan ekonomi etos kerja serta keadilan sosial. Sekali lagi kita perlu menyingkirkan stigma pemikiran “terlalu dewasa” atau “tua” untuk anak.
What should they do: Pada tahap ini anak dibantu dan dibimbing oleh orangtua merancang semacam cetak biru untuk melakukan satu aksi, baik kecil maupun besar sebagai bentuk kontribusi dari permasalahan sosial yang ditekuni sebelumnya. Anak perlu dilibatkan aktif dalam kegiatan yang berhubungan dengan masyarakat. Dalam konteks sekonkrit mungkin, walaupun dalam bentuk sederhana, anak diajak bertindak riil memberi andil solusi. Sebagai contoh dalam problematika kemiskinan, tindakan riilnya anak beserta orangtua maupun temannya memiliki jadwal mingguan atau bulanan untuk membagikan nasi bungkus pada pengemis, atau berbagi rezeki pada tetangga yang berkekurangan. Dalam persoalan banjir, anak dengan penyertaan informasi dan kesadaran tentang siklus bagaimana timbulnya sampah serta eksesnya, bagaimana pola manajemen sampah di keluarga sehingga ramah lingkungan baik itu reduce, recycle, ataupun reuse. Dalam masalah kelaparan dan krisis pangan, dapat dihadirkan kesadaran dengan pemutaran video terkait sebagai perenungan bagaimana fenomena itu bisa terjadi, hingga mampu mendorong remaja untuk menghargai setiap suap makanan, kepedulian dengan berdonasi, berempati, dan menahan daya konsumtif. Dalam persoalan apapun, anak dengan bimbingan orangtua dapat dapat merancang minat, buku bacaan favorit, serta komunitas yang dijadikan acuan.
Tahap selanjutnya, remaja diberikan perencanaan jangka panjang baik itu dituangkan dalam diary, organigram pribadi atau bentuk lain tentang apa yang ingin dicapai dalam mengambil andil kontribusi memecahkan permasalahan global tersebut. Lebih konstruktif kita tidak sekedar bertanya apa cita-cita mereka, namun bertanya apa yang ingin mereka kontribusikan, dari sana dapat menarik simpul tentang cita-cita atau perencanaan anak remaja kita ke depan. Dengan paradigma tersebut, remaja terhindarkan dengan perancangan cita-cita egosentris yang hampa, teralienasi atau hilang simpul dalam konteks sosialnya. Bangsa ini memang membutuhkan gelintiran personal berbakat brilian (jenius), tetapi yang lebih dibutuhkan adalah agar banyak individu yang tidak kehilangan identitas.
Kemajuan suatu bangsa seringkali ditunjang oleh keberhasilan beberapa tokoh besar, tetapi keruntuhan peradabannya seringkali dipicu oleh ketindaktuntasan perkembangan individu secara massif dalam bangsa tersebut. Indonesia benar-benar akan bangga hadirnya para pembaharu, ahli saintifik, penemu teknologi termutakhir abad mendatang. Tetapi lebih teramat penting adalah kelahiran mayoritas generasi mendatang yang benar memahami jati dirinya sendiri. Generasi emas yang mampu berkontribusi positif dalam pusaran besar peradabannya, paham apa tugas hakikinya, mengerti kemana arah peradaban seharusnya, dan mampu mengambil bagian dari tugas peradaban, sekecil dan sesederhana apapun dalam gerak dan karyanya.[]