Oleh: Yusuf Maulana
Terbanyak dalam jumlah: 30.000 pasukan. Terbesar dalam perbekalan: 10.000 ekor kuda; 12.000 ekor unta. Terberat dalam mobilisasi: tidak ada kompensasi untuk tidak terlibat dalam kafilah penaklukan. Berangkat di masa yang begitu mengusik: kebun-kebun siap dipanen, cuaca tak begitu ramah. Tapi, mobilisasi besar-besaran ke medan Tabuk sudah dikumandangkan. Dan Rasulullah terang-terangan menyebutkan, berulang kali, apa misi pergi ke Tabuk: menghadapi Romawi Timur, alias Bizantium.
Di medan Tabuk, gegap gempita dan deru keras pasukan Muslimin begitu tampak. Menghentak, melaju, tanpa rasa takut. Hingga daerah-daerah Arab Utara yang menjadi proksi Bizantium pun satu per satu menyerah. Memilih jizyah ketimbang bersyahadat di hadapan Rasulullah.
Kecamuk perang yang bakal terjadi rupanya tidak benar-benar terjadi. Tidak ada lakon heroik, jatuh dan bangkit serupa Mu’tah. Yang di Mu’tah hadirkan pembidas gelombang bernama Khalid bin Walid. Di Tabuk, Bizantum beringsut. Mundur teratur. Gemetar tak tertahankan. Cukup membiarkan para kaki tangan takluk. Sampai akhirnya, pasukan Muslimin balik ke Madinah.
Yang menarik, sebagaimana diulas Syekh Muhammad Munir al-Ghadban dalam “Manhaj Haraki”, pelajaran membina Muslimin justru lebih berat dan panjang masanya tatkala menghadapi eksistensi kaum Munafik. Berbeda dengan Mu’tah yang menyingkirkan anasir munafik, medan Tabuk justru banyak kalangan itu. Di masa Rasulullah melakukan mobilisasi menjelang keberangkatan, mereka melakukan pelemahan semangat. Masif dan intensif meski dikerjakan di belakang Rasulullah. Di kala menyertai pasukan, mereka juga tidak tinggal diam, malah membuat makar hendak membunuh Rasulullah. Selepas pasukan Muslimin balik ke Madinah, kaum munafik masih tak kenal henti bergerak. Bersikeras bahkan membuat tempat ibadah yang sedianya bakal diresmikan Rasul. Masjid Dhirar, namanya.
Lakon Abdullah bin Ubay bin Salul masih eksis di episode ini. Termasuk ketika ia mati. Demi menjaga persatuan Muslimin, dan demi merangkul hati kalangan yang masih ragu masuk Islam, sikap keras tidak diperbuat Rasul pada Ibnu Salul. Juga agar para pengikutnya, yang ternyata banyak, tidak melancarkan permusuhan dan makar dari dalam tubuh umat ini. Bagaimanapun, mereka perlu direngkuh hatinya agar atak nifak enyah. Maka, Rasulullah tetap menshalatkan dan mendoakan jenazah Ibnu Salul. Pakaian beliau pun dipergunakan untuk membungkus mayat Ibnu Salul. Hadiah sebentuk keridhaan.
Sikap Rasul ditentang Umar bin Khathab. Sang shahabat punya pemikiran lain. Tapi, Umar tak ragui junjungannya itu punya misi dan keteladanan buat esok hari. Rupanya, beberapa jenak kemudian, turun wahyu yang malah membenarkan pendapat Umar, yakni surat at-Taubah ayat 84.
Episode Tabuk, terutama di bagian bahasan tentang kiprah munafikun, menarik untuk disaksamai. Bahwa musuh besar yang kemudian kita sikapi dengan sikap serius dan kesungguhan lagi fokus itu sudah benar dan niscaya. Tapi, tak boleh lengah dalam ikhtiar membangun dan membina kekokohan persatuan itu: ada orang-orang munafik. Tak hanya bersiasat untuk menggembosi tapi juga menandingi lalu menghancurkan eksistensi gerakan Islam. Dalam perjuangan hari ini, membaca pola dan polah parasit di umat ini amat penting. Agar tak salah menyikap dan mudah melabel. Lawan diperlakukan sekutu karib; kawan seiman disengiti bukan kepalang. []